Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKALAH TENTANG RETENSIO PLASENTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 mempunyai visi dan misi. Misinya adalah kehamilan dan persalinan tetap berlangsung aman, sedangkan Visinya adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) (saifuddin, 2002).
Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,tingkat kematian maternal (maternal mortality rate) atau angka kematian ibu (AKI) sangat tinggi. Pemerintah telah mencanangkan upaya keselamatan ibu (safe mother hood initiative) untuk mengamankan pera ibu hamil , melahirkan dan sesudah nya menuju kekeluarga sehat dan sejahtera (Sarwono, 2005).
Berdasarkan penyebab perdarahan, salah satunya disebabkan oleh Retensio Plasenta dengan frekuensi (16-17%) dan penyebab yang lain yaitu Atonia Uteri dengan frekuensi (50-60%), laserasi jalan lahir dengan frekuensi (23-24%), pembekuan darah dengan frekuensi (0,5-0,8%) (Geocities, 2006).
Sedangkan data yang terkumpul dari World Health Organization (WHO), angka kematian maternal di Negara maju yaitu 5-10/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di Negara berkembang berkisar antara 750-1000 per 100.000.Tingkat kematian maternal di Indonesia di perkirakan sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup (Wiknjosastro, 2005).
Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Dalam 100000 proses persalinan, sedikitnya 307 ibu meninggal dunia di Indonesia. Ini berarti dari 352 ibu bersalin meninggal tiap minggunya atau terdapat dua ibu meninggal tiap jamnya, langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah mengetahui penyebab utama kematian (Saptandari. P, 2009).
Dalam Angka Kematian Ibu (AKI) dikenal istilah (3T) (Terlambat) dan 4T (Terlalu).Istilah 3T yaitu terlambat mengenali tanda bahaya dan memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan: terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang memadai;dan terlambat dalam menerima pelayanan kesehatan yang cukup memadai di setiap tingkatan.Sedangkan istilah 4T yaitu terlalu muda untuk menikah,terlalu sering atau terlalu banyak melahirkan,terlalu dekat jarak kehamilan dan terlalu tua untuk hamil.
Di Sumatera Utara angka kematian ibu lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata nasional. Sampai saat ini rata-rata angka kematian ibu di Sumatera Utara sebanyak 330 per 100.000 kelahiran,sedangkan rata-rata nasional adalah 307 per 100.000 kelahiran (Khairudin, 2009).
Sebagian besar penyebab kematian ibu secara langsung sebesar 90 %,juga diakibatkan oleh komplikasi yang terjadi saat persalinan dan segera setelah bersalin.Penyebab tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu : perdarahan (285), eklamsi (24%), dan infeksi (11%) (Depkes, 2008).
Data yang terkumpul dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2005 yaitu 262/100.000 kelahiran hidup.Diharapkan pada tahun 2010, AKI menurun menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes, 2004).
Berdasarkan penyebab perdarahan, salah satunya di sebabkan oleh Retensio Plasenta dengan frekuensi (16-17%) dan penyebab yang lain yaitu Atonia Uteri dengan frekuensi (50-60%), laserasi jalan lahir dengan frekuensi (23-24%), pembekuan darah dengan frekuensi (0,5-0,8%) (Geocities,2006).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Retensio Plasenta
2.1.1. Defenisi
Retensio Plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak , artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera ( Manuaba, 2008). Selanjutnya menurut Kunsri (2007) Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi, dapat terjadi retensio plasenta berulang ( habitual retension ) oleh karena itu plasenta harus di keluarkan karna dapat menimbulkan bahaya perdarahan.
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan tempat implantasinya retensio plasenta dapat di klasifikasikan menjadi 5 bagian :
  1. Plasenta Adhesiva
Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta plasenta dan melekat pada desidua dan melekat pada desidua endometrium lebih dalam .
  1. Plasenta Akreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium yang menembus lebih dalam miometrium tetapi belum menembus serosa.


  1. Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium , dimana vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium .
  1. Plasenta Perkreta
Implantasi jonjot khorion plsenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa di uterus, yang menembus serosa atau peritoneum dinding rahim .
  1. Plasenta Inkarserata
Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh kontraksi ostium uteri (Sarwono, 2005).
2.1.3. Faktor Etiologi
Adapun faktor penyebab dari retensio plasenta adalah :
1.      Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh dan melekat lebih dalam .
2.      Plasenta sudah terlepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan meyebabkan perdarahan yang banyak atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar .
3.      Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan (Mochtar, 1998).
Apabila terjadi perdarahan post partum dan plasenta belum lahir, perlu di usahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera . Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedang pada perdarahan karena perlukaan jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik (Wiknjosastro, 2005).
2.1.4. Patogenesis
Retensio plasenta dan manajemennya ( pengangkatan manual plasenta ) dapat memberikan efek negatif pada kualitas kontak ibu dengan bayi yang dilahirkan maupun kesehatan post partumnya. Retensio plasenta, dapat juga mengurangi waktu yang dihabiskan untuk berdekatan, menyusui dan berkenalan dengan bayi barunya serta dalam jangka panjang bisa menyebabkan ibu anemis dan nyeri. Pada kasus berat dapat menyebabkan perdarahan akut, infeksi, perdarahan post partum sekunder, histerektomi, dan bahkan kematian maternal. Retensio plasenta terjadi pada 3% kelahiran pervaginam sedangkan 15% retensio plasenta adalah ibu yang pernah mengalami retensio plasenta (Chapman, 2006).
2.1.5. Diagnosis
Tanda-tanda gejala yang selalu ada yaitu plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul :
1.      Tali Pusat putus akibat kontraksi berlebihan.
2.      Inversio uteri akibat tarikan.
3.      Perdarahan lanjutan.
Dijumpai pada kala tiga atau post partum dengan gejala yang nyeri yang hebat perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis ( Geocities, 2006 ).
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek, tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama. Tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebah cepat dan tekanan darah menurun, jika perdarahan berlangsung terus menerus dapat menimbulkan syok. perdarahan yang banyak bisa juga meyebabkan syndrom Sheehan sebagai akibat nekrosis. gejala gejalanya adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan penurunan fungsi seksual, kehilangan rambut pubis dan ketiak (Sarwono, 2005).
2.1.6. Penanganan Retensio Plasenta .
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir , harus diusahakan untuk mengeluarkannya , dapat dicoba dulu dengan :
  1. Plasenta Manual
Plasenta manual merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta, teknik operasi plasenta manual tidaklah sukartetapi harus dipikirkan jiwa penderita. Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan :
  1. Grande multipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive inkreta dan plasenta perkreta .
  2. Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
  3. Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan yaitu darah penderita terlalu banyak hilang, dan keseimbangan baru terbentuknya bekuan darah sehingga perdarahan tidak terjadi, kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam .
  4. Plasenta manual dengan segera dilakukan karena terdapat riwayat perdarahan post partum berulang , pada pertolongan persediaan dengan narkosa plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam ( Manuaba , 1998 ).
  1. Komplikasi Tindakan Plasenta Manual
1.     Terjadinya perforasi uterus
2.     Terjadinya infeksi : terdapat sisa plasenta atau membran dan bakteri terdorong kedalam rongga rahim .
3.     Terjadinya perdarahan karena atonia uteri ( Manuaba, 1998 ).
  1. Tindakan Crade
Tindakan ini banyak dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversion uteri . Salah satu cara untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt yaitu plasenta manual , dengan cara salah satu tangan penolong memegang tali pusat dekat vulva, tangan yang lain diletakkan pada dinding perut, sehingga permukaan palmar jari jari tangan terletak dipermukaan depan rahim ( Saifuddin , 2005).
Banyak kesulitan yang dialami dalam pelepasan plasenta, plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahanserta perforasi mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan kesulitan tersebut akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual dihentikan, lalu diusahakan histerektomi ( Saifuddin , 2005 ).

2.2. Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Retensio Plasenta
Adapun karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta adalah :
2.2.1. Umur

Harlock (1999) dan Balai Pustaka (2002) mengatakan bahwa, umur adalah indeks yang menempatkan individu dalam urutan atau lamanya seorang hidup dari lahir sampai mengalami retensio plasenta. Faktor yang mempengaruhi tingginya kematian ibu adalah umur, masih banyaknya terjadi perkawinan dan persalinan diluar kurun waktu reproduksi yang sehat adalah umur 20-30 tahun. Pada Usia muda resiko kematian maternal tiga kali lebih tinggi pada kelompok umur kurang dari 20 tahun dan kelompok umur lebih dari 35 tahun (Mochtar, 1998). Tingginya Angka Kematian Ibu pada usia muda disebabkan belum matangnya organ reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. (Manuaba, 1998).
Hal ini merupakan ancaman bagi ibu yang ham9l maupun melahirkan. Pada umur ibu yang lanjut (usia >35 tahun) sering terjadi retensio plasenta (Chalik, 1998). Dilihat dari usia ibu yang tua terjadi kemunduran organ-organ reproduksi secara umum sehingga dapat pula mempengaruhi perkembangan janin dalam kandumgan ( Prawirohardjo, 2001).

2.2.2.Paritas
Paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian lebih tinggi, lebih tinggi paritas lebih tinggi kematian maternal. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya retensio plasenta adalah sering dijumpai pada multipara dan grande multipara ( Sarwono, 2005).
Multipara adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi beberapa kali ( samapi 5 kali), sedangkan grande multipara adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih, hidup atau mati ( Sarwono, 2005 ).
Insiden perdarahan post partum dengan retensio plasenta, faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian ini adalah multiparitas ( paritas > 3 ), faktor resiko lebih dari 3 dapat meningkatkan resiko hampir 5 kali dibandingkan dengan 2 faktor resiko ( Geocities, 2006 ).
Menurut Ramali (1996) paritas adalah banyaknya kehamilan dan kelahiran hidup yang dimiliki seorang wanita pada grande multipara yaitu ibu dengan jumlah kehamilan dan persalinan lebih dari 5 kali masih banyak terdapat resiko kematian maternal dari golongan ini adalah 8 kali lebih tinggi dari yang lainnya (Mochtar, 1998). Adapun paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (>3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi, semakin tinggi paritas maka cenderung akan semakin meningkat pula kematian maternal dan perinatal ( Prawirohardjo, 2002).
Menurut Oxorn (2003), Manuaba (1998) dan Chalik (1998) mengatakan bahwa, angka kejadian pada multiparitas lebih tinggi resiko terjadinya perlengketan plasenta yang lebih dalam pada rahim namun pada primigravida hampir tidak ditemui.
2.2.3.Interval Kelahiran Anak
Usaha pengaturan jarak kelahiran akan membawa dampak positif terhadap kesehatan ibu dan janin.Interval kelahiran adalah selang waktu antara dua persalinan (Ramali, 1996). Perdarahan postpartum karena retensio plasenta sering terjadi pada ibu dengan interval kelahiran pendek (<2 tahun ), seringnya ibu melahirkan dan dekatnya jarak kelahiran mengakibatkan terjadinya perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah (Chalik. MTA, 1998).